Secercah Harapan Penderita Depresi Usia Dini

 

Suatu intensi dinilai dari upaya yang dilakukan seseorang untuk mencapai sesuatu. Misal, ketika kita lapar, kita berusaha menjangkau sepiring nasi putih di depan mata kita dan memakannya. Namun, bukan berarti dengan memakan sepiring nasi tersebut, kita dapat memastikan kita kenyang 100 persen.

Bila kita ingin jujur, rasa kenyang yang mungkin hanya 10 persen, lebih baik daripada rasa kenyang nol persen bukan?. Mungkin anda yang membaca artikel ini akan berpikiran bahwa rasa kenyang bukan sesuatu yang dapat diukur secara kuantitatif.

Disclaimer, tolong jangan lanjutkan membaca tulisan ini bila Anda menganggap penyakit jiwa=Gila, pleasebe my guest and leave this room politely.

Pemikirian Hitam dan Putih

Pemikiran hitam-putih kita akan berpikiran bahwa di dunia ini hanya ada kenyang atau tidak kenyang. Dalam hal ini, kita sering mendengar bahwa hidup kalau tidak hitam ya putih. Padahal di dalam kenyataan, ada warna lain selain hitam dan putih bukan?. Begitu yang terjadi pada diri kita dalam kehidupan sehari- hari. Dalam proses penyembuhan dari sakit, kita sering memikirkan, “kalau tidak sembuh yah tetap sakit”. Ketakutan ini membuat kita tidak berani untuk mencoba. Sehingga, membuat kita tidak pernah mencoba untuk sembuh.

Rasa ketakutan yang dialami penderita penyakit jiwa, termasuk depresi, lebih sering akibat faktor eksternal. Rasa takut dipandang “aneh” ketika penderita penyakit jiwa berobat, konseling, meditasi, dan olahraga rutin.

Hidup tidak pernah semudah perkataan motivator yang menyatakan upaya = hasil atau semua hal negatif hanya ada dalam pikiranmu saja, kita harus selalu positif thinking dalam segala situasi. Perkataan motivator di dunia menganggap kalau kita kerja keras pasti sukses dan ketika kita melihat orang yang tidak sukses, itu karena dia tidak bekerja keras. So Sorry hal ini tidak sepenuhnya benar.

Depresi Sebagai Penyakit Jiwa

Depresi merupakan penyakit jiwa yang cukup umum dialami manusia, termasuk orang muda. Kata “cukup umum” bukan berarti semua orang di dunia ini pernah depresi. Kata ‘cukup umum’ adalah sebuah variabel yang sering muncul dari banyaknya jenis penyakit kejiwaan di dunia ini.

Berdasarkan data hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), sebanyak satu dari tiga remaja atau sepertiga remaja Indonesia berusia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Data ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, melainkan remaja pun demikian.

Sayangnya, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS, Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., mengatakan bahwa Hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka.

Hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir.

Cerita Menghadapi Penyakit Jiwa
Saya akan coba mendeskripsikan apa saja yang telah saya alami dalam menghadapi penyakit jiwa. Saya sebagai orang muda pun, mengalami penyakit jiwa setelah didiagnosis oleh psikiater dan puluhan kali konseling dengan psikolog klinis.

Saya mengalami penyakit campuran depresi dan anxiety. Kalau ingin mencari penyebab saya mengalami penyakit ini, maka penyebabnya adalah multifaktor. Faktor biologis, Faktor Psikologis, dan Faktor Sosiologis.

Faktor Biologis yaitu saya memiliki “bakat” genetik mengenai penyakit jiwa. Keadaan ini membuat ketidakseimbangan neurotransmiter di otak saya terutama di serotonin.

Sedangkan faktor psikologis yaitu tekanan beban psikis yang banyak. Beban psikis yang saya alami tidak dapat saya kelola dengan baik sebab saya belum memiliki cukup coping mechanism yang baik. Kemudian faktor terakhir adalah faktor sosiologis yaitu bullying, ketidakadilan, penolakan, dan pengabaian.

Saya memang mengetahui penyakit ini di tahun 2021, namun saya sudah merasakan ada hal yang aneh di luar diri saya. Sebagai contoh, dulu sewaktu saya dipanggil guru ke depan kelas untuk menjawab sebuah soal, saya sebenarnya semangat karena saya tau jawaban dari pertanyaan itu, namun anehnya setelah saya sampai ke depan kelas, keringat saya mengucur seluruh tubuh hingga sangat basah. Guru dan teman saya bertanya mengenai keringat saya yang sangat berlebihan itu, dan saya berdalih saya baru makan masakan yang pedas sehingga saya sangat keringatan.

Tidak hanya itu, ketika di jalan raya, saat saya melihat truk besar, jantung saya berdetak sangat kencang. Dalam pikiran saya terlintas hal yang buruk, seperti di lindas truk. Ketika berada di jalan raya ataupun saat saya melakukan penerbangang, rasa kecemasan saya luar biasa bahkan membuat saya sakit perut, ingin muntah, dan rasa sakit fisik lainnya.

Setelah melakukan konseling dengan psikolog dan psikiater, akhirnya saya tau itu adalah anxiety/ kecemasan. Kemudian saya juga merasa konsentrasi saya sangat berkurang, saya sulit fokus ke satu hal, dan pandangan saya melebar.

Kenapa saya memilih untuk terbuka? Apa saya tidak takut dicap “gila”? Apa saya tidak takut didiskriminasi? Ya saya takut sebenarnya. Saya pun merupakan manusia yang dapat merasakan “takut” tersebut. Namun itulah hal yang cukup menyenangkan bagi saya, ketika saya berhasil melawan rasa takut.

Pandangan Keliru sebagian Masyarakat Indonesia tentang Kesehatan Mental

Mayoritas penduduk Indonesia menganggap bahwa penyakit jiwa = GILA. Mayoritas penduduk yang tidak teredukasi ini (termasuk yang memilih menolak untuk diedukasi), menganggap ODGJ (Orang Dengan penyakit Jiwa) atau ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) tidak cakap bekerja, tidak bisa menghitung, tidak bisa mengingat, tidak bisa merasakan sakit, dan segala ketidakbisaan lainnya. Pemahaman keliru ini, seringkali akibat kesalahan informasi yang diterima yang berdasarkan “katanya” saja.

Rasa sakit merupakan bentuk nyata, yaitu ketika Nosiseptor atau yang biasa disebut dengan reseptor nyeri menyalurkan sinyal nyeri dari tubuh agar bisa sampai ke otak. Pada penderita penyakit kejiwaan reseptor ini tetap ada, oleh karena itu, penderita penyakit kejiwaan tetap bisa merasakan rasa sakit.

Penderita depresi sering menutup rasa sakit yang dialaminya. Penderita depresi mungkin menunjukkan wajah bahagia, senyum, ataupun rasa senang. Namun dibalik senyum tersebut, terbalut luka dan rasa sakit yang sudah menumpuk sejak lama. Senyum mereka tidak palsu, namun mereka melakukan hal tersebut, karena penderita depresi tidak ingin orang lain khawatir tentang keadaan mereka. Mereka berusaha sangat keras menggerakkan simpul bibir mereka. Bukan berarti senyum itu tidak berguna, melainkan, masyarakat perlu tahu, bahwa kualitas bahagia seseorang tidak diukur melalui sebuah senyuman saja. Banyak kriteria penegakan diagnosis penyakit kejiwaan yang harus mereka lewati.

Too painful. Bagi sebagian orang, rasa sakit itu begitu dalam sehingga mereka yang menerima rasa sakit itu sulit melupakan kejadian-kejadian “tekanan” masa lalu. Dunia seperti tempat gelap yang berisikan monster jahat, dimana setiap orang memiliki takdir memakan atau dimakan. Namun dalam dunia yang gelap ini, penyintas depresi dapat menemukan cahaya yang sekecil apapun.

Harapan untuk Pulih

Perlu kita perhatikan, bahwa apa yang diluar diri kita menjadi sesuatu yang tidak bisa kendalikan. Realitas adalah sesuatu diluar diri kita, yang berarti hal ini tidak bisa kita kontrol. Namun perlu diperhatikan bahwa yang bisa kita kendalikan adalah upaya dan usaha kita.

Penyakit kejiwaan merupakan penyakit kompleks, masalah kompleks tersebut tidak dapat diselesaikan dalam satu hari saja, ataupun tidak dalam satu pertemuan konseling atau pengobatan saja. Tidak ada solusi yang cepat dan mudah melalui proses rasa sakit ini.

Tubuh dan pikiran kita seringkali menyerah, tidak apa, itu artinya tubuh dan pikiran kita masih memberi sinyal bahwa tubuh dan pikiran sedang tidak baik-baik saja. Tidak harus selalu positif, hal negatif pun pasti akan ada yang menghampiri diri kita dan mau tidak mau menghadapi hal tersebut.

Pasien depresi dapat pulih dari depresi bila terapi medis dilaksanakan secara rutin. Terapi medis dapat berupa obat-obatan yang diresepkan dokter, konseling psikolog ataupun kombinasi keduanya.

Pengobatan yang sudah diresepkan oleh dokter tidak boleh berhenti tanpa sepengetahuan dokter. “Putus” obat secara tiba-tiba hanya akan membuat pasien depresi mengalami kekambuhan. Depresi adalah penyakit ‘bandel’ yang dapat kembali kapan saja.

Secercah harapan penderita depresi di usia muda, adalah kemungkinan untuk pulih lebih besar daripada penderita lanjut usia. Baiknya, sewaktu muda, penting untuk mencari pertolongan medis segera, agar depresi tidak berlarut-larut dan semakin parah hingga kehilangan nyawa akibat mengakhiri hidup diri sendiri. Orang muda juga dapat memperoleh informasi mengenai depresi lebih banyak, namun informasi itu perlu di filter agar tidak terjadi self diagnosis yang akan merugikan diri sendiri pula.

Penyembuhan penyakit kejiwaan bukan hanya tanggung jawab pasien saja, melainkan butuh pertolongan dan kehadiran pemerintah. Kehadiran pemerintah berupa pelayanan kesehatan jiwa yang lebih baik. Penyediaan layanan kesehatan jiwa yang prima yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan jiwa belum merata.

Perlu kita perhatikan, bahwa apa yang diluar diri kita menjadi sesuatu yang tidak bisa kendalikan. Realitas adalah sesuatu diluar diri kita, yang berarti hal ini tidak bisa kita kontrol. Namun perlu diperhatikan bahwa yang bisa kita kendalikan adalah upaya dan usaha kita.

Saya rasa, saya akan terus berdampingan dengan masalah kejiwaan. Sampai kapan? Saya tidak tahu, namun yang pasti, yang perlu saya pegang, Depresi dapat pulih.



Comments

Popular posts from this blog

PERUBAHAN DATA WAJIB PAJAK

Sistem Reward and Punishment bagi Wajib Pajak

Peduli Itu Bukan Sekadar Ucapan